The Unspoken (Yang Tak Pernah Dibicarakan)--Part 1




 "Ada hal-hal  yang tak pernah terucap, tapi tinggal selamanya di dada"


Bab 1 – Anak Ketiga

 

Rumah itu besar, setidaknya menurut ukuran kompleks perumahan lama di kota kecil seperti tempat tinggal Raysa. Dinding luar bercat putih gading, dengan pagar besi hitam dan halaman depan yang sudah lama tidak terawat. Daun kering berserakan di teras, mengendap bersama suara-suara yang tidak pernah selesai diucapkan.

 

Raysa bangun sebelum subuh. Bukan karena ingin, tapi karena sudah terbiasa. Seperti alarm yang diprogram sejak kecil, tubuhnya tahu kapan harus beranjak sebelum ada yang menyuruh. Kak Aldi, si sulung, masih tertidur. Kak Damas, anak kedua, baru saja pulang dari shift malam dan langsung mengunci diri di kamar. Galvin, si bungsu yang baru kelas enam SD, masih meringkuk di balik selimut. Dan Ibu—ah, Ibu seperti biasa, sudah berkutat di dapur sambil memikirkan seribu hal lain selain rasa.

 

Raysa berjalan ke dapur, masih mengenakan piyama dan dengan mata yang belum sepenuhnya sadar. Dia tidak berbicara. Tidak bertanya. Tidak mengeluh. Tugas-tugas itu bukan bagian dari perannya dalam keluarga ini.

 

“Panaskan air,” kata Ibu, tanpa menoleh.

Raysa menyalakan kompor.

“Galvin belum bangun?”

“Belum, Bu.”

“Ya Tuhan, harus selalu kamu yang bangunin. Kakak-kakaknya sibuk semua.”

Dan kamu, Raysa ingin bilang, tidak pernah benar-benar lihat aku.

 

Tapi ia diam. Seperti biasa.

 

Dia anak ketiga. Satu-satunya perempuan. Dianggap cukup kuat untuk tidak dimanja, tapi terlalu tidak penting untuk dipahami. Di keluarga ini, Raysa bukan cahaya. Dia adalah lorong: mengantar semua orang pergi, tapi tak pernah jadi tujuan siapa pun.

 

 

Waktu menunjukkan pukul 06.05. Raysa sudah selesai menyiapkan seragam Galvin, menata meja makan, dan menyetrika pakaian Ibunya. Setelah mandi cepat, ia mengenakan pakaian-nya dan bersiap berangkat ke kampus.

 

“Raysa,” panggil Ibu sebelum ia sempat melangkah keluar.

“Ya?”

“Kamu nggak lupa kan, minggu depan kamu pelayanan di Paduan Suara Paskah?”

 

Raysa menoleh. “Nggak, Bu.”

“Bagus. Jangan bikin malu keluarga. Kamu perempuan satu-satunya. Jadi contoh.”

 

Perempuan satu-satunya. Kalimat itu terdengar seperti pujian, tapi buat Raysa itu seperti gelang kaki yang diikatkan diam-diam. Harus anggun, harus lembut, harus nurut, harus rohani. Tidak boleh terlambat, tidak boleh pacaran dengan yang berbeda keyakinan, tidak boleh membantah, tidak boleh… menjadi dirinya sendiri.

 

Ia mengangguk dan keluar. Tidak ada pamit. Tidak ada peluk. Tapi Ibu sempat berkata, “Doakan ayahmu ya. Hari ini rapat penting di kantor sinode.”

 

Iya. Ayah. Yang sudah beberapa minggu ini semakin sering pulang malam dan lebih sering bicara tentang gereja daripada tentang anak-anaknya sendiri.

 

Bab 2 – Dio

 

Di kampus, Raysa seperti versi lain dari dirinya. Dia tidak terlalu populer, tapi juga bukan bayangan. Cukup dikenal karena selalu tampil rapi, aktif di persekutuan, dan pintar Matematika.

 

Tapi hari ini, ada yang berbeda.

Dia duduk di bangku taman belakang kampus, menghindari kantin yang ramai. Di tangan kirinya, sebuah foto kecil. Dia dan Dio. Senyum mereka terekam dengan langit sore sebagai latar. Sederhana, tapi penuh makna.

 

Dio bukan orang Kristen. Dia Katolik. Bedanya tipis, katanya, cuma soal struktur gereja dan beberapa doktrin. Tapi buat keluarga Raysa, itu cukup untuk membuatnya “tidak layak”.

 

“Ra, kamu pikir hubungan kayak gini Tuhan restui?” kata Ibu, dua bulan lalu.

“Kalau Tuhan itu kasih, kenapa aku nggak boleh sayang dia, Bu?”

“Kamu jangan sesat. Kasih Tuhan tidak membenarkan hubungan yang salah.”

 

Dan sejak itu, Dio menjauh. Bukan karena tidak cinta, tapi karena terlalu lelah melawan sesuatu yang tidak bisa dia sentuh.

 

Sampai sekarang, Raysa masih menyimpan semua chat yang tidak pernah ia balas. Semua panggilan tak terjawab. Karena dalam hatinya, ia juga lelah. Tapi lelahnya tak punya tempat pulang.


Bab 3 — Dunia Abu-Abu

 

Hari itu Raysa datang lebih awal ke tempat magangnya—sebuah kantor arsitektur kecil milik teman gerejanya. Ruangannya tidak besar, tapi cukup nyaman. Ada aroma kayu manis dari diffuser di sudut ruangan, dan musik instrumental lembut dari speaker bluetooth yang terletak di meja depan.

 

Mbak Litha, supervisor magangnya, langsung menyambut dengan senyum hangat.

 

“Tumben pagi banget, Ra.”

 

“Macet tadi agak parah,” jawab Raysa sambil meletakkan tasnya.

 

“Bohong. Mukamu kelihatan kayak habis lari dari rumah,” balas Mbak Litha, setengah bercanda.

 

Raysa hanya tersenyum kecil. Dia terlalu capek untuk menyembunyikan semuanya hari ini.

 

Mbak Litha mengalihkan pembicaraan dan memberinya beberapa berkas untuk direvisi, tapi sebelum pergi ke ruangannya, dia sempat berkata pelan, “Kalau mau cerita, nanti jam istirahat ya. Aku dengerin.”

 

Raysa mengangguk. Bukan karena siap, tapi karena ada sesuatu dalam suara Mbak Litha yang terasa seperti… tempat aman.

 

Waktu berlalu lambat di layar laptopnya. Barisan angka dan sketsa yang harus diukur tak bisa mengalihkan pikirannya dari satu hal: surat yang ditulisnya tadi malam, yang belum sempat ia buang.

 

“Tuhan, aku tahu Engkau dengar. Tapi aku juga tahu, suara-Mu sering kalah oleh suara-suara di sekitarku. Aku ingin percaya Engkau lebih dari sekadar aturan, tapi di rumah, aturan-aturan itu dipanggil ‘iman’.”

 

“Apa aku jahat karena mempertanyakan semuanya? Karena mencintai seseorang yang tidak disetujui? Karena ingin bernapas, tanpa harus dituntut jadi anak perempuan Kristen yang sempurna?”

 

Surat itu masih terselip di halaman terakhir Alkitabnya. Ia belum berani membacanya kembali. Karena setiap kata di sana adalah kebenaran yang selama ini ia tutupi dengan pelayanan dan senyum sopan.

 

Jam istirahat

 

Raysa duduk di rooftop kantor, sendirian. Langit kota, sedang cerah hari itu. Laut di kejauhan terlihat mengilat. Angin laut yang lembut menyapu wajahnya.

 

Mbak Litha datang membawa dua gelas kopi dan duduk di sampingnya.

 

“Aku dulu juga pernah lari dari semua yang orang kira benar, Ra,” katanya tiba-tiba.

 

Raysa menoleh.

 

“Aku anak pendeta. Tapi waktu aku bilang aku nggak bisa lanjut pelayanan, aku dianggap sesat. Padahal aku nggak berhenti percaya. Aku cuma berhenti jadi boneka.”

 

Raysa menunduk.

 

“Aku jatuh cinta sama orang yang beda keyakinan,” ucap Raysa pelan, hampir tak terdengar. “Dan sejak itu… rumah nggak lagi terasa rumah. Doa-doa rasanya berubah jadi tekanan.”

 

Mbak Litha tidak langsung menjawab. Ia menyesap kopinya, lalu berkata, “Iman itu personal. Tapi banyak orang menjadikannya sosial—sesuatu yang harus dilihat, dinilai, dan dibanggakan.”

 

Lalu ia menoleh pada Raysa dan berkata, “Yang kamu rasakan bukan dosa. Itu pencarian. Tuhan tidak takut ditanya. Tapi orang sering kali takut kehilangan kontrol.”

 

Kata-kata itu masuk pelan-pelan ke dada Raysa. Seperti embun. Lembut tapi dingin.

 

Malam itu, di kamar, Raysa memandangi langit dari jendela. Ia belum tahu apa yang harus ia lakukan. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa boleh mempertanyakan. Boleh ragu. Dan boleh jujur, walau belum berani lantang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjadi Perempuan di Tengah Ekspektasi Dunia

RINTIK YANG TERTINGGAL