Aku Pernah Berpura-Pura Bahagia Demi Tidak Dianggap Lemah
Aku pernah bangun pagi dengan senyum di wajah, padahal malam sebelumnya aku menangis sampai sesak. Aku tetap menyapa orang dengan ceria, menyelesaikan pekerjaan, bercanda di tengah teman-teman, padahal hatiku sedang penuh.
Bukan karena aku ingin membohongi dunia. Tapi karena aku takut dianggap lemah. Takut ketika aku bilang, “Aku sedang tidak baik-baik saja,” semua orang akan diam, atau lebih buruk lagi—menjauh.
Dunia mengagungkan perempuan kuat. Perempuan yang tetap berdiri meski semuanya ambruk. Perempuan yang tidak mengeluh, yang selalu bisa “move on”, yang katanya mandiri dan tahan banting.
Tapi apa salah kalau suatu hari kita tidak ingin kuat? Apa salah jika satu hari saja, kita ingin didengar tanpa diminta tersenyum?
Aku pernah menyimpan tangis sampai larut malam, hanya karena tidak tahu harus cerita ke siapa. Aku pernah mencoba menulis, tapi huruf-hurufnya kabur oleh air mata. Bahkan aku pernah duduk diam berjam-jam, hanya menatap dinding, karena tidak tahu apa yang sedang aku rasakan.
Dan entah kenapa, dunia membuatku merasa harus meminta maaf atas semua itu. Seolah rasa sedihku adalah kelemahan, bukan bagian dari menjadi manusia.
Aku lelah. Tapi aku tetap berjalan. Karena aku tahu, tidak semua orang mengerti. Dan tidak semua telinga mau mendengar tanpa menghakimi.
Sampai akhirnya aku sadar… berpura-pura bahagia tidak menyembuhkan apa pun. Tapi saat itu, itu satu-satunya cara yang kupunya untuk bertahan.
Hari ini, aku masih belajar untuk jujur. Masih belajar menerima bahwa tidak baik-baik saja pun tidak apa-apa.
Jika kamu sedang melakukannya sekarang—tersenyum, padahal ingin menangis—aku ingin kamu tahu: kamu tidak sendiri.
Tulisan ini aku buat untuk diriku sendiri, dan mungkin… untuk kamu juga.
Komentar
Posting Komentar