Pemeran Utama Dalam Hidupku


Bab 1: Aku, yang Selalu Duduk di Kursi Penonton

 

Namaku Rania.

Kata orang, aku perempuan yang sabar. Kalem. Pengertian. Pemaaf.

Kata mereka, aku wanita beruntung karena memiliki pasangan seperti Damar—mapan, manis, dan penuh perhatian.

 

Dan aku selalu tersenyum setiap kali mendengar itu.

Karena lebih mudah berpura-pura bahagia… daripada menjelaskan bahwa semua itu hanya tampilan luar. Aku bukan pasangan beruntung. Aku cuma penulis naskah kehidupan Damar.

Dan selama bertahun-tahun, aku cuma jadi figuran dalam kisahku sendiri.

 

Pernah nonton drama yang bagus, tapi kamu tahu semua itu bohong?

Begitulah aku hidup.

 

Semua orang kenal Damar sebagai pria yang lemah lembut.

Tapi tak ada yang tahu bahwa sifat lembutnya hanya muncul kalau ada kamera kehidupan orang lain mengarah padanya.

 

Kalau di rumah? Dia lebih sibuk dengan ponselnya. Sering lupa kalau aku juga manusia.

Dan aku? Aku tetap tersenyum di depan teman-temanku. Tetap posting foto kami saat dinner—yang kubayar dengan uangku sendiri, tentunya.

 

Tapi aku tetap diam. Karena dari kecil aku diajari: perempuan yang baik, itu yang bisa menahan.

Sampai aku lupa… bahwa menahan terlalu lama juga bisa membuatmu meledak.

 

Malam itu aku duduk sendirian di balkon. Lampu kota gemerlap, tapi hatiku gelap.

Dan tiba-tiba muncul satu pikiran:

“Kalau ini film, kenapa aku bukan pemeran utamanya?”

 

Aku menatap langit, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku jujur pada diriku sendiri.

 

Aku ingin menulis ulang naskah ini.

Aku ingin berdiri.

Dan mulai hidup… sebagai aku.

Bukan sebagai bayangan siapa pun.

 

Kadang aku masih ingat, masa-masa awal bersama Damar.

Waktu dia ngotot anterin aku pulang naik ojek payung, padahal hujan cuma rintik. Atau saat dia kirim voice note panjang cuma buat bilang, “Jangan lupa makan, ya.”

 

Itu… masa-masa ketika aku merasa jadi tokoh utama di hidupnya.

 

Kami pernah tertawa bareng nonton film horor konyol. Pernah saling kirim pesan lucu tiap pagi. Dulu, Damar gak pernah lupa ulang tahunku. Bahkan dia bikin playlist Spotify namaku sendiri.

Dan semua itu bikin aku percaya—dialah rumah.

 

Tapi ternyata… playlist bisa berhenti diputar.

Perhatian bisa berganti prioritas.

Dan rumah… bisa jadi tempat yang paling membuatmu kesepian.

 

Perubahan itu gak terjadi dalam semalam. Dia gak langsung dingin. Tapi pelan-pelan, semua berubah. Seperti lilin yang meleleh sedikit demi sedikit.

Sampai aku sadar: aku memeluk seseorang yang perlahan menghilang.

 

Aku bertahan. Karena aku percaya mungkin ini hanya fase.

Aku menyusun ulang harapan-harapan yang hancur, mencoba menulis ulang kisah kami dengan tinta yang kubuat sendiri dari air mata dan sabar.

 

Tapi sampai kapan?

 

Mungkin aku memang bukan kehilangan Damar.

Aku kehilangan diriku sendiri… dalam proses mencintainya.

 

 

 

 

Bab 2: Saat Semua Lampu Padam

 

Aku pernah berpikir, cinta itu seperti lampu taman.

Kecil, hangat, kadang redup, tapi tetap menyala—asalkan dijaga.

 

Tapi malam itu, semua lampu di taman hatiku padam.

Bukan karena mati listrik, tapi karena aku lelah jadi satu-satunya yang menyalakan nyala itu.

 

Damar baru pulang. Jam 11 malam.

Dia tidak bicara. Hanya lempar jaket ke sofa dan langsung ke kamar mandi.

Aku duduk di meja makan, di depan sepiring makan malam yang sudah dingin sejak dua jam lalu.

 

“Dam, kamu udah makan?”

 

“Hm.”

 

Jawaban pendek. Tanpa tatapan. Tanpa tanya balik.

Seperti aku cuma hantu yang ada di rumah ini.

 

Aku menatap nasi yang sudah mengeras di piringnya. Dulu, dia suka masakan aku. Sekarang? Bahkan menyentuhnya saja tidak.

 

Aku terdiam di ruang tengah. Di sekelilingku, ada rak buku yang dulu kami isi bersama. Ada foto berbingkai dari liburan tiga tahun lalu. Ada bantal di sofa yang masih punya bordir “Home is you.”

 

Lucu. Aku tinggal di rumah yang penuh kenangan, tapi terasa kosong.

Karena ternyata… kenangan gak bisa menghangatkan tubuh yang kedinginan dalam kesepian.

 

Malam itu, aku masuk ke kamar dan mendapati Damar tertidur. Ponselnya tergenggam, layar masih menyala.

 

Aku gak pernah suka intip-intip. Tapi hatiku sudah terlalu sering berperang dengan rasa curiga.

Dan malam itu… akhirnya aku kalah.

Jari tanganku menyentuh layar.

 

Ada pesan dari seseorang bernama Naya.

Dengan emoji hati di belakang namanya.

Isinya singkat:

“Udah nyampe rumah? Aku kangen.”

 

Aku menutup ponselnya pelan. Jantungku berdetak seperti mau pecah, tapi wajahku tetap tenang.

Tangisku tak keluar malam itu.

Karena entah kenapa, aku justru tersenyum.

Senyum pahit—yang menandai momen ketika akhirnya aku benar-benar sadar…

 

Aku bukan pemeran utama dalam hidupnya. Tapi mulai sekarang, aku akan jadi pemeran utama dalam hidupku.

 

 

 

Bab 3: Langkah Kecil Pertama

 

Pagi itu, matahari terasa biasa saja.

Burung-burung tetap berkicau, jalanan tetap bising, dan Damar tetap seperti biasa—diam, sibuk sendiri, tanpa sepatah kata pun padaku.

Seakan malam kemarin tidak terjadi apa-apa.

 

Tapi aku tahu, sesuatu telah berubah.

Bukan pada dia. Tapi pada aku.

 

Ada sesuatu di dalam diriku yang terasa… jenuh. Tapi bukan jenuh karena lelah mencintainya.

Jenuh karena aku tak lagi bisa membohongi diriku sendiri.

 

Aku duduk di meja makan dengan segelas teh tawar.

Di sebelah cangkir itu, sebuah buku kecil yang lama tak kusentuh—jurnal usang yang dulu kubeli untuk mencatat mimpi-mimpi kecilku.

 

Aku buka halaman pertama, dan menulis:

 

10 Januari.

Hari ini aku memutuskan untuk hidup. Bukan hanya bertahan.

 

Tanganku gemetar saat menulisnya. Tapi untuk pertama kalinya, kata-kata itu terasa jujur.

 

 

Hari itu aku tidak masak.

Aku tidak menyetrika bajunya.

Aku tidak menyiapkan kopinya.

 

Aku hanya mandi, dandan sedikit, dan pergi keluar. Tanpa bilang.

 

Aku duduk di sebuah kafe kecil dekat taman kota—tempat aku dulu sering membaca buku sebelum semuanya berubah.

Kupesan minuman favoritku: es cokelat hazelnut.

 

Di sana, aku duduk sendiri. Tapi aku tidak kesepian.

Untuk pertama kalinya, aku merasa ditemani oleh diriku sendiri.

 

Sore itu, aku menuliskan lagi di jurnal:

 

“Aku tidak ingin jadi wanita kuat yang bertahan di hubungan yang menyakitkan.

Aku ingin jadi wanita damai, meski harus sendiri.”

 

Saat malam tiba dan aku pulang, Damar bertanya:

“Dari mana?”

 

Aku hanya menjawab pelan, “Dari tempat yang membuatku merasa hidup.”

 

Dia menatapku, sejenak. Lalu mengalihkan pandangannya.

Mungkin dia mulai merasa kehilangan. Mungkin tidak. Tapi aku tak lagi peduli.

 

Karena hari ini, aku sudah melangkah.

Dan langkah kecil itu… adalah awal dari sesuatu yang besar.

 

 

Bab 4: Perempuan yang Sedang Mempersiapkan Kepergian

 

Beberapa hari setelahnya, aku tetap tinggal.

 

Bukan karena aku menyerah. Tapi karena aku sedang menyusun ulang diriku sendiri.

Pelan-pelan. Diam-diam. Tanpa perlu letupan.

 

Damar masih sama. Pagi pergi tanpa pamit, malam pulang tanpa sapa. Tapi ada yang berbeda dalam cara aku memandangnya. Dulu, setiap kepergiannya membuatku gelisah. Sekarang, kepergiannya terasa seperti… ruang bernapas.

 

 

Di sela waktu sendiri, aku mulai merapikan dokumen-dokumenku. KTP, ijazah, rekening tabungan—semua kupindahkan ke dompet kecil yang kutaruh di laci rahasia.

 

Aku mulai menabung, meski hanya sedikit.

Kupisahkan uang belanja. Kurangi jajan, simpan receh.

Karena aku tahu, pada akhirnya aku harus bisa berdiri dengan kakiku sendiri.

 

 

Aku juga mulai menulis lagi. Di jurnal, di catatan ponsel, bahkan di selembar tissue kafe tempat biasa aku duduk sendiri.

Aku menulis semua: rasa sakit, rasa marah, rasa ingin pergi, dan juga rasa lega karena perlahan aku menemukan kembali suaraku sendiri.

 

Kadang aku menangis tengah malam, diam-diam di kamar mandi.

Bukan karena ingin kembali, tapi karena berani meninggalkan pun tetap menyakitkan.

 

Suatu malam, Damar memergoki aku sedang tertawa kecil sendirian saat menonton film lama favoritku—Julie & Julia.

 

Dia melirik sekilas dan bertanya, “Apa yang lucu?”

 

Aku menjawab tanpa menoleh, “Karena aku baru sadar… aku bisa bahagia sendiri.”

 

Dia terdiam. Lama.

 

Dan aku tahu… perlahan, dia mulai menyadari.

Perempuan yang selalu diam dan patuh itu, sedang mempersiapkan kepergian yang tak akan bisa ia hentikan.

 

Rania tak lagi marah. Ia hanya tenang. Dan keheningan seorang perempuan yang mulai mencintai dirinya sendiri…

adalah suara paling menggetarkan yang tak akan pernah bisa dipadamkan.

 

 

 

Bab 5: Saat Aku Berkata “Cukup” Tanpa Suara Tinggi

 

Pagi itu hujan. Bukan hujan deras, tapi hujan yang turun pelan-pelan. Seperti langit tahu, ada hati yang sedang mengucap selamat tinggal dalam diam.

 

Aku bangun lebih pagi dari biasanya. Kupakai pakaian paling nyaman yang kupunya—blus putih bersih dan celana kain abu-abu kesayanganku. Rambutku kugerai, wajahku tak kupoles. Tapi entah kenapa, aku merasa paling cantik hari ini.

 

Bukan karena riasan, tapi karena aku merasa… utuh.

Aku sudah tidak luka. Tidak juga ingin membalas.

 

Damar masih tertidur. Dan aku tidak ingin membangunkannya.

Aku hanya duduk sebentar di sisi ranjang. Menatap wajahnya yang dulu pernah begitu kucinta.

Aku tidak marah. Aku tidak menyesal.

 

Aku hanya ingin berkata,

“Terima kasih… karena sudah mengajarkan aku cara memperjuangkan.

Tapi sekarang, aku memilih memperjuangkan diriku sendiri.”

 

Tapi aku tahu dia tak akan dengar.

Karena ini bukan ucapan untuknya. Ini perpisahan yang kutujukan… untuk diriku yang lama.

 

Aku meletakkan satu amplop di atas meja.

Isinya: surat. Sederhana, tapi cukup.

 

Damar,

Aku tidak pergi karena benci.

Aku pergi karena aku ingin hidup—dengan tenang, tanpa takut, tanpa pura-pura.

 

Terima kasih untuk cinta yang pernah ada.

 

-Rania

 

Aku keluar rumah tanpa membawa banyak barang.

Hanya satu koper kecil, dan satu hati yang akhirnya bisa bernapas lega.

 

Di luar, hujan masih turun. Tapi aku tersenyum.

Karena tak ada pelangi tanpa hujan, dan aku tahu—aku akan sampai pada langit yang lebih cerah.

 

Aku bukan lagi tokoh figuran dalam kisah orang lain.

Hari ini, aku resmi menjadi pemeran utama…

dalam hidupku sendiri.

 

 

 

Bab 6: Aku, yang Memulai Ulang

 

Pindah ke kota kecil bukan keputusan impulsif. Aku sudah memikirkan ini sejak lama. Tapi tetap saja, rasanya aneh…

Meninggalkan semua yang pernah kupikir “rumah” hanya dengan satu koper, satu dompet, dan satu hati yang tak lagi ingin disakiti.

 

Kota baruku ini tidak terlalu ramai. Ada pasar tradisional setiap Senin dan Kamis. Ada kafe kecil di pinggir jalan yang sering memutar lagu-lagu jazz pelan. Ada perpustakaan tua yang masih menyimpan buku-buku dari tahun 80-an. Dan ada laut—selalu ada laut.

 

Di sinilah aku mulai menata ulang hidupku.

Bukan dengan gegap gempita. Tapi dengan tenang, seperti perempuan yang ingin menyembuhkan diri tanpa sorotan siapa pun.

 

Setiap pagi, aku bangun tanpa suara alarm.

Kubuka jendela kamar yang menghadap laut, membiarkan angin asin masuk bersama cahaya matahari yang lembut.

 

Kadang aku berjalan kaki ke warung kopi, mengenakan sweater lusuh dan celana panjang kain. Tak ada yang mengenaliku. Dan itu… terasa seperti keajaiban kecil. Aku tidak lagi menjadi “istrinya siapa”. Aku hanya Rania.

 

Pemilik warung, Bu Asri, suka menyapaku dengan senyum hangat, “Sendirian aja, Mbak?”

 

Aku akan menjawab, “Iya, Bu. Tapi hatinya ramai.”

 

Dia tertawa.

Aku juga.

 

Suatu sore, aku duduk di kafe kecil dengan segelas kopi hitam dan buku catatan.

Aku memperhatikan orang-orang di sekelilingku—pasangan muda yang tertawa kecil, seorang ibu yang sibuk menenangkan anak balitanya, dua remaja yang sibuk selfie sambil ngikik.

 

Dan aku?

Aku hanya menulis.

 

“Rasanya lucu, ya. Aku dulu takut sendirian.

Sekarang aku tak ingin siapa-siapa mengambil ketenanganku.”

 

Malamnya, aku pulang dan menata dapur kecilku. Kubuat makan malam untuk satu orang, dengan hati yang utuh. Kubersihkan rak buku, menata ulang meja kerja, dan mengganti seprei dengan yang bermotif bunga matahari.

 

Bukan karena sedang menunggu tamu.

Tapi karena aku ingin rumah ini terasa benar-benar milik aku.

 

Di kota ini, aku menemukan versi baru diriku.

Perempuan yang tidak takut tidur sendiri.

Perempuan yang bisa pergi ke bioskop tanpa ditemani.

Perempuan yang bisa menangis, tertawa, dan tenang—semua dalam satu hari, tanpa rasa bersalah.

 

Banyak orang bilang, “sendirian itu sepi.”

Tapi aku belajar bahwa kesepian terburuk bukan saat sendiri…

Tapi saat bersama seseorang yang membuatmu merasa sendirian setiap hari.

 

Dan di kota kecil ini, aku tak lagi kesepian.

 

Aku hanya… sedang mengenal diriku sendiri.

Dan ternyata, aku menyukainya.

 

Bab 7: Cermin di Tengah Perjalanan

 

Namanya Aldo.

Aku bertemu dengannya di perpustakaan tua yang biasa kukunjungi setiap Kamis siang.

 

Dia duduk di pojok ruangan, di antara rak sastra dan buku-buku filsafat yang jarang disentuh. Usianya mungkin beberapa tahun di atasku, dengan mata teduh dan rambut berantakan seperti orang yang sering tenggelam dalam pikirannya sendiri.

 

Hari itu hujan turun, dan aku lupa bawa payung. Aldo menghampiriku sambil membawa satu.

 

“Kamu Rania, kan? Sering baca buku sendirian di sini,” katanya, sopan.

 

Aku hanya tersenyum kecil.

“Dan kamu yang selalu baca ‘To Kill a Mockingbird’ di kursi itu.”

 

Kami tertawa.

 

Sejak itu, kami sering bertemu. Tidak sengaja. Tapi cukup sering untuk mulai saling mengenal.

Aldo bukan orang yang banyak bicara. Tapi dia tahu cara mendengar. Kadang dia hanya duduk sambil menyesap kopi dan mendengarkanku bicara tentang hal-hal kecil: kenapa aku suka laut, kenapa aku takut badai, kenapa aku sekarang lebih suka hujan daripada pelangi.

 

Dia tidak pernah tanya tentang masa laluku secara langsung. Tapi dia tahu. Dan itu membuatku nyaman. Karena dia tak ingin menyelamatkan. Dia hanya ingin menemani.

 

Suatu hari, saat kami duduk di bangku taman, dia berkata:

 

“Kamu tau, Ran… luka itu kayak lukisan cat minyak. Harus sabar ditimpa warna-warna baru. Nggak bisa langsung dibuang, tapi bisa dibentuk jadi sesuatu yang baru.”

 

Aku menoleh padanya, lalu berkata pelan,

“Dan kamu, Aldo, kayak bingkai. Tenang… tapi ngasih batas supaya lukisan itu tetap utuh.”

 

Dia tertawa.

“Lalu kamu apa?”

 

Aku tersenyum.

“Warna yang tadinya kusam… sekarang mulai terang lagi.”

 

Aldo tidak pernah mencoba mengambil peran apapun dalam hidupku.

Dia tidak mendekat terlalu cepat, tidak bertanya terlalu dalam. Tapi kehadirannya membuat aku merasa bahwa aku tidak benar-benar sendirian.

 

Dia adalah bukti… bahwa dunia tetap bisa ramah.

Bahwa tidak semua orang datang untuk mengambil.

Beberapa hanya datang untuk menemani.

 

Malam itu, aku menulis di jurnal:

 

“Aku tak sedang mencari cinta.

Aku sedang belajar memeluk diriku sendiri.

Tapi jika suatu hari cinta datang… biarlah ia datang seperti Aldo.

Tanpa janji. Tanpa bising. Tapi cukup untuk membuat hati tenang.”

 

 

Bab 8: Sepi yang Kutemukan Terlambat

 

POV: Damar

 

Sudah berbulan-bulan sejak Rania pergi.

Dan rumah ini… tak lagi terdengar suara sendok jatuh, suara air dari dapur, atau tawa pelan saat dia membaca buku sambil selonjoran di sofa.

 

Yang tersisa hanya keheningan.

Dan aku.

Aku yang mengira dia akan selalu di sini.

 

Waktu dia pergi, aku pikir dia cuma butuh waktu.

Mungkin beberapa hari. Paling lama seminggu.

Karena selama ini, dia selalu memaafkan. Selalu diam. Selalu kembali.

 

Tapi kali ini, dia benar-benar pergi.

Tanpa teriak. Tanpa meledak.

Dia hanya… berhenti berperan dalam hidupku.

 

Dan itu yang paling menghancurkan.

Karena kehilangan yang tak disertai perpisahan itu, justru yang menyisakan ruang kosong paling sunyi.

 

Dulu, aku sering berpikir aku mencintai Rania.

Tapi kenyataannya?

Aku hanya nyaman. Karena dia selalu ada, meski aku terus melupakan.

 

Dia masak, aku lupa bilang terima kasih.

Dia menangis diam-diam, aku pura-pura tidak lihat.

Dia terus bertahan… dan aku mengira itu tanda cinta, bukan kelelahan.

 

Ternyata… cinta yang tak dijaga bukan sekadar pudar.

Dia pergi, dan aku tidak tahu bagaimana cara memanggilnya pulang.

 

Aku mencoba melanjutkan hidup.

Bertemu orang baru. Berkencan. Berpura-pura tertawa. Tapi tak satu pun terasa hangat.

Karena semua yang kulihat, semua yang kutemui… mengingatkanku pada perempuan yang dulu duduk di kursi pojok dengan secangkir teh manis dan mata penuh sabar.

 

Rania.

Yang kupikir akan selalu diam di tempatnya.

 

Beberapa hari lalu, aku melihatnya.

Di kota yang asing, di tempat yang tak kukira.

Dia tampak… hidup.

 

Wajahnya berbeda. Senyumnya tidak lagi terpaksa.

Dia tampak damai, seperti langit yang akhirnya bebas dari badai.

 

Aku ingin memanggilnya. Tapi aku tahu… aku tak lagi punya tempat dalam hidupnya.

 

Dia telah memilih dirinya sendiri.

Dan aku?

Aku masih di sini, duduk di bangku yang sama, berharap waktu bisa mundur.

 

Jika kau bertanya padaku, apakah aku menyesal?

 

Tidak.

Penyesalan itu terlalu kecil untuk menggambarkan apa yang kurasakan.

 

Yang ada hanyalah kesadaran terlambat…

Bahwa aku telah kehilangan perempuan yang pernah kucintai paling dalam…

Karena aku tak pernah belajar cara mencintainya dengan benar.

 

 

 

Bab 9: Pertemuan Tanpa Kata “Kembali”

 

Langit sore itu berwarna abu-abu.

Aku sedang menyiram tanaman di teras ketika seseorang memanggil namaku.

 

“Rania.”

 

Suara itu…

Sudah lama tak kudengar. Tapi aku masih mengenalnya. Suara yang dulu jadi lagu, tapi juga pernah jadi badai.

 

Damar.

 

Dia berdiri di depan gerbang rumah kontrakanku.

Lebih kurus, lebih tirus. Tapi ada sesuatu di matanya yang tak lagi angkuh.

Mungkin… penyesalan. Mungkin… ketulusan. Mungkin keduanya.

 

Aku tidak buru-buru membukakan pintu.

Kupandangi dulu lelaki yang dulu pernah kuanggap “rumah”—sebelum rumah itu runtuh menimpaku sendiri.

 

“Kita bisa bicara?” katanya akhirnya.

 

Aku mengangguk pelan.

“Di taman depan. Bukan di dalam.”

 

Kami duduk di bangku panjang dekat pantai. Angin sore membawa aroma laut dan kenangan.

Damar menggenggam telapak tangannya sendiri. Sesuatu yang dulu kulakukan saat gugup. Sekarang giliran dia.

 

“Aku gak mau kamu salah paham, Rania. Aku ke sini bukan untuk mengemis kembali. Aku tahu, semuanya sudah berubah. Aku cuma… ingin menutup yang dulu kita biarkan terbuka terlalu lama.”

 

Aku hanya diam. Membiarkan dia bicara.

 

 “Aku dulu gak sadar… bahwa diam kamu itu bukan tanda kamu kuat. Tapi kamu capek.

Aku kira kamu gak akan pernah pergi. Tapi ternyata, kamu belajar mencintai dirimu sendiri… saat aku terlalu sibuk melupakanmu.”

 

Dia menatapku.

“Aku minta maaf. Bukan karena aku ingin memperbaiki. Tapi karena aku ingin kamu tau… kamu gak salah. Dan kamu luar biasa.”

 

Aku menelan ludah. Mataku terasa panas. Tapi aku tak ingin menangis. Bukan karena menahan. Tapi karena aku sudah selesai menangis untuknya.

 

 “Terima kasih,” jawabku pelan.

 

“Terima kasih karena akhirnya datang…

Dan karena tidak memintaku kembali.”

 

Dia menunduk.

“Aku gak pantas minta itu.”

 

Kami duduk beberapa menit dalam diam. Tapi kali ini, diamnya bukan menyakitkan. Diamnya adalah jawaban.

 

Akhirnya, Damar berdiri.

“Aku pergi, Ran. Dan aku gak akan ganggu kamu lagi.”

 

Sebelum dia melangkah, aku berkata:

 

“Dam…”

 

Dia menoleh.

 

“Aku doakan kamu juga menemukan rumah. Yang kamu jaga baik-baik.

Seperti yang dulu gagal kamu lakukan padaku.”

 

Dia tersenyum.

Dan pergi.

 

Aku duduk sendiri. Tapi aku tidak patah.

Hari ini, bukan hanya aku yang menyelesaikan luka.

Tapi juga dia.

 

Bukan untuk kembali.

Tapi untuk memberi ruang… pada hidup yang baru.

 

 

 

Bab 10: Rumah yang Kutemukan di Dalam Diriku

 

Sudah setahun sejak aku memutuskan hidup sebagai pemeran utama dalam kisahku sendiri.

 

Setahun sejak aku meninggalkan rumah yang penuh luka.

Setahun sejak aku belajar membangun rumah yang baru—bukan dari bata dan tembok, tapi dari keberanian, kejujuran, dan cinta pada diri sendiri.

 

Kini aku bekerja sebagai penulis lepas.

Tulisan-tulisanku tentang pemulihan diam-diam dibaca oleh banyak perempuan lain. Beberapa mengirimi email, berkata bahwa kisahku membuat mereka merasa tidak sendiri.

Dan itu cukup.

Karena jika rasa sakitku bisa menguatkan orang lain, berarti lukaku tidak sia-sia.

 

Aku masih tinggal di kota kecil ini.

Masih menyeduh teh setiap pagi. Masih jalan ke pantai setiap sore.

Kadang Aldo masih menemuiku di kafe—kami bicara tentang hidup, tentang buku, tentang kesepian yang perlahan menjadi sahabat.

Tidak ada janji. Tidak ada rencana. Hanya kehadiran. Dan itu cukup.

 

Sore itu, aku duduk di balkon, menulis kalimat terakhir dari naskah bukuku sendiri.

Buku yang kutulis dari hati, tentang luka, tentang pergi, tentang pulih.

 

Lalu aku menutup laptop dan menatap langit yang mulai jingga.

 

Di dalam hatiku, tak ada dendam.

Tak ada tanya yang belum terjawab.

Tak ada harapan untuk kisah cinta baru.

Hanya rasa tenang… dan keyakinan bahwa aku baik-baik saja.

 

Karena rumah… ternyata bukan tempat. Bukan orang.

 

Rumah adalah saat aku menerima diriku sendiri, dan tetap memilih untuk hidup—meski dulu pernah disakiti.

 

Hari ini, aku tidak butuh siapa pun untuk merasa cukup.

Karena aku sudah cukup.

 

Dan aku bahagia…

Menjadi pemeran utama dalam hidupku sendiri.

 

TAMAT


Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Unspoken (Yang Tak Pernah Dibicarakan)--Part 1

Menjadi Perempuan di Tengah Ekspektasi Dunia

Kenapa Aku Tak Pernah Merasa Cukup, Padahal Sudah Berjuang?