RINTIK YANG TERTINGGAL

 


Bab 1 – Pertemuan yang Tidak Selesai

 

Langit kota hari itu terlihat terang tapi tidak hangat. Matahari memantul dari jendela-jendela gedung tinggi, menciptakan bayangan panjang di trotoar yang mulai padat oleh orang-orang berseragam kerja. Di tengah hingar-bingar perkotaan, ada satu jendela yang tidak pernah terbuka penuh. Jendela itu milik seorang pria yang lebih memilih membiarkan udara masuk lewat celah kecil, cukup untuk menyapa tapi tidak untuk tinggal.

 

Namanya Reza.

 

Pagi itu, seperti pagi-pagi lainnya, dia duduk sendiri di ruang tengah apartemennya. Cangkir kopi hitam dibiarkan di atas meja, menguap pelan. Televisi menyala tanpa suara, hanya menjadi latar gerak yang tak penting. Di tangannya, sebuah buku yang sudah lama tidak ia sentuh kembali terbuka di halaman ke-43—halaman yang dulu ditandai oleh tangan seseorang yang pernah tinggal di ruangan yang sama.

 

Hujan semalam belum sepenuhnya mengering. Beberapa titik air masih menggantung di pagar balkon. Tapi bukan itu yang membuat Reza terpaku menatap keluar. Itu karena suara hujan masih terngiang di kepalanya. Rintik kecil, pelan, tapi mengendap. Seperti kenangan.

 

Sudah dua tahun sejak dia terakhir bertemu dengan Sinta. Dan tidak ada satu hari pun di mana namanya tidak muncul dalam pikirannya, walau hanya sekilas, walau hanya lewat aroma kopi, lagu, atau bahkan gerimis yang turun tanpa aba-aba.

 

Dia tidak menyimpan foto Sinta. Tidak ada barang yang bisa mengingatkannya secara fisik. Tapi yang namanya kenangan, tidak perlu benda untuk hidup. Mereka tumbuh dari ruang kosong. Dari kalimat yang tidak selesai. Dari pintu yang tertutup terlalu cepat.

 

Dan hari itu, tanpa tahu kenapa, Reza memakai kemeja biru tua. Kemeja yang sudah lama dia simpan di bagian belakang lemari. Yang biasa dia pakai saat mereka masih sering pergi ke bioskop tua di seberang stasiun kota.

 

Reza bukan tipe yang percaya pada pertanda. Tapi hari itu, dia turun ke halte bus, dan entah kenapa, memilih jalan kaki ke bioskop. Dia tidak mengecek film yang tayang. Dia hanya… pergi.

 

Di dalam bioskop, aroma popcorn dan pendingin udara menyambutnya seperti biasa. Tidak ada yang istimewa. Sampai lampu mulai redup, dan seseorang berjalan pelan melewati baris tempat duduk, menuju tempat yang kosong di sebelahnya.

 

“Maaf, boleh duduk di sini?”

 

Suara itu.

 

Reza menoleh.

Waktu berhenti.

 

Sinta berdiri di sana, memegang tiket di tangan, rambutnya sedikit lebih panjang dari terakhir kali dia lihat. Dia tidak berubah banyak. Tapi ada sesuatu di matanya—ketenangan yang pernah hilang, dan kelelahan yang ia kenal sangat baik.

 

Reza hanya mengangguk. Tidak ada kata.

Sinta duduk. Film mulai.

 

 


 

Bab 2 – Di Antara Dialog yang Tidak Dikatakan

 

Selama 98 menit film berjalan, mereka tidak bicara. Tapi kehadiran satu sama lain seperti memenuhi ruangan yang sunyi. Tidak ada yang bergerak berlebihan. Tidak ada reaksi yang dibuat-buat. Tapi setiap jeda, setiap musik latar, seakan diputar untuk dua orang yang duduk dalam diam itu.

 

Saat lampu kembali menyala, Sinta menoleh pelan.

 

“Kamu masih suka duduk di baris tengah?”

 

Reza menoleh perlahan. Senyum kecil muncul di ujung bibirnya.

 

“Kamu yang ngajarin.”

 

Sinta tertawa pelan. Tawa yang dulu bisa membuat dunia Reza terasa tidak terlalu berat.

 

Mereka keluar dari bioskop bersama, berjalan tanpa arah. Trotoar masih ramai, tapi langkah mereka lambat. Seperti tidak ingin cepat sampai. Seperti ingin memperpanjang waktu.

 

“Mau ngopi?”

“Masih sama, ya?”

“Masih.”

 

Mereka memilih kafe kecil dekat museum. Tempat itu dulu tempat mereka mampir setelah nonton atau saat kabur dari pekerjaan sebentar. Di meja sudut, dua cangkir kopi panas terhidang.

 

“Jadi… kamu masih di kantor yang sama?” tanya Sinta.

“Iya. Kamu?”

“Baru pindah balik ke sini. Dua bulan.”

 

Hening.

Reza mengaduk kopinya, meskipun tidak ada gula.

 

“Kamu masih suka hujan?”

“Selalu.”

 

Sinta menatap jendela. Hujan mulai turun rintik-rintik.

 

“Lucu, ya. Kamu yang suka hujan, tapi justru waktu kita berakhir… pas musim hujan.”

 

“Mungkin karena hujan nggak pernah minta kita bertahan. Dia cuma datang. Nggak pernah janji bakal reda.”

 

Percakapan mereka berjalan pelan, seperti membaca bab lama dari buku yang belum ditamatkan. Tidak ada marah. Tidak ada kata ‘kenapa’ yang dilontarkan. Tapi semuanya terasa mengarah ke satu hal: masih ada yang tertinggal.

 

“Reza…”

“Hm?”

“Kamu bahagia sekarang?”

 

Pertanyaan itu pelan. Tapi berat.

 

Reza menatap keluar jendela. Lama.

 

“Aku tenang. Tapi… nggak tahu itu bisa disebut bahagia atau nggak.”

 

Sinta mengangguk. Mengerti. Karena dia pun begitu.

Bab 3 – Ruang di Antara Kita

 

Malam semakin turun ketika Reza dan Sinta keluar dari kafe. Langit masih menyimpan sisa rintik. Bukan hujan deras, hanya gerimis yang seperti sengaja menahan langkah mereka agar tak cepat kembali ke dunia masing-masing.

 

“Kamu mau langsung pulang?” tanya Sinta.

Reza menggeleng pelan. “Kamu?”

“Nggak juga.”

 

Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka berjalan ke stasiun. Seolah-olah kaki mereka tahu arah meski pikiran mereka belum sepakat.

 

Kereta Malam

 

Gerbong kereta malam itu tidak penuh. Beberapa orang duduk diam, sebagian menunduk di balik headphone. Reza dan Sinta duduk bersebelahan, di kursi dekat jendela. Pemandangan kota berlalu seperti kilatan memori.

 

Tak ada suara selain deru roda dan bisikan rel.

 

Sinta menatap ke luar, tapi suaranya pelan saat ia bicara.

 

“Dulu… aku pikir kita akan baik-baik aja, meskipun kita jarang bicara soal masalah.”

“Karena kita terlalu takut menyakiti satu sama lain,” balas Reza pelan.

“Atau mungkin, terlalu takut jujur tentang perasaan masing-masing.”

 

Reza mengangguk, masih menatap lurus. Tangannya mengepal kecil di pangkuannya.

 

“Waktu kamu bilang butuh waktu sendiri… aku nggak sangka itu waktu yang nggak kembali,” katanya.

 

Sinta menunduk.

 

“Waktu itu, aku juga nggak tahu. Aku cuma… lelah. Sama semuanya. Sama kamu. Sama diri aku sendiri.”

 

“Aku tahu,” kata Reza. “Dan aku benci kenyataan itu. Tapi aku lebih benci karena aku ngerti.”

 

Keheningan menyergap mereka lagi.

 

“Aku nyesel, Reza.”

“Aku juga.”

“Tapi nyesel bukan berarti bisa mulai ulang, kan?”

“Enggak,” jawab Reza, “tapi nyesel itu cukup buat kita tahu, bahwa waktu itu nyata.”

 

Kejujuran yang Tak Terlambat

 

Kereta terus melaju, dan Sinta menyandarkan kepalanya ke jendela.

 

“Setelah kita putus, aku pindah ke kota lain. Pacaran lagi. Tapi nggak pernah bisa lama.”

“Kenapa?”

“Karena… nggak ada yang bisa diam sesantai kamu.

Dan kadang… aku rindu duduk di sebelah kamu tanpa harus nyari topik ngobrol.”

 

Reza tersenyum kecil.

 

“Aku juga nggak bisa nemu lagi yang tatapannya kayak kamu. Yang bisa marah sambil nangis, tapi bilang ‘aku baik-baik aja’.”

“Dulu kamu percaya?”

“Nggak. Tapi aku juga terlalu pengecut buat maksa kamu cerita.”

 

Mereka tertawa pelan. Pahit, tapi hangat. Seperti teh basi yang masih bisa menghangatkan tangan.

 

 

Sampai di Tujuan

 

Kereta mulai melambat. Stasiun berikutnya adalah tempat mereka harus turun. Tapi langkah mereka makin pelan. Makin ragu.

 

“Kalau waktu bisa diputar… kamu mau balik?” tanya Sinta.

 

Reza menatapnya. Lama. Matanya tenang. Tapi suaranya pecah.

 

“Enggak. Karena kalau waktu diputar… mungkin kita bakal nyakitin satu sama lain lebih awal.”

 

Sinta tertawa kecil, lalu mengangguk.

 

“Kamu selalu terlalu jujur.”

“Dan kamu selalu pengin tahu hal-hal yang sakit.”

 

 

Mereka turun dari kereta. Angin malam menyambut. Hujan sudah berhenti.

 

Di luar stasiun, mereka berdiri di bawah lampu kuning yang redup. Tak ada janji, tak ada permintaan untuk bertemu lagi.

 

“Selamat malam, Sinta.”

“Selamat malam, Reza.”

 

Tapi sebelum berbalik, Sinta berkata,

 

“Terima kasih… karena dulu kamu pernah jadi rumah.”

 

Dan Reza hanya menjawab dengan senyum, karena ia tahu—tak semua keindahan perlu dibawa pulang. Kadang, cukup untuk diingat, disimpan… dan dilepaskan.

Bab 4 – Surat yang Tidak Akan Pernah Sampai

 

Sudah seminggu sejak malam itu. Sejak Reza dan Sinta duduk berdampingan di kereta malam, lalu berpisah di bawah cahaya lampu jalan yang redup. Tidak ada pesan menyusul. Tidak ada ajakan kopi lagi. Dan Reza tidak mencarinya. Bukan karena dia tidak ingin, tapi karena… dia sudah tahu jawabannya.

 

Ada perasaan tenang aneh yang muncul setelah pertemuan itu. Seperti ketika kamu menutup buku yang sudah lama kamu baca setengah jalan, lalu akhirnya tahu bagaimana akhirnya—meskipun tidak selalu seperti yang kamu harapkan.

 

Di apartemennya, Reza mulai punya kebiasaan baru: menulis. Setiap malam, setelah pekerjaan kantor selesai, dia duduk di kursi dekat jendela. Hujan tidak turun setiap malam, tapi dia tetap membuka jendela sedikit, berharap mendengar sesuatu dari luar—entah itu rintik air, atau hanya angin yang lewat sambil membawa memori.

 

Ia menulis surat-surat. Bukan untuk dikirim. Tapi ditulis dengan tangan, di atas kertas yang dilipat rapi dan disimpan dalam kotak kayu tua.

 

Surat 1

 

Sinta,

 

Aku nggak tahu kamu masih ingat atau nggak, tapi kamu pernah bilang, “Kita nggak butuh alasan untuk mencintai seseorang. Tapi kita butuh alasan buat ninggalin.”

 

Waktu itu, aku nggak tanya alasan kamu. Aku pura-pura kuat. Tapi setelah bertahun-tahun, aku sadar… mungkin bukan alasannya yang penting, tapi kenyataan bahwa kamu harus pergi.

 

Dan aku harus belajar menerima itu, meskipun hati aku nggak pernah benar-benar setuju.

 

Surat 2

 

Hari ini turun hujan. Cuma gerimis kecil. Tapi cukup buat bikin aku diem lama di jendela.

 

Aku jadi mikir… seandainya kita ketemu lagi, bukan sebagai dua orang dengan masa lalu, tapi sebagai dua orang asing yang kebetulan suka kopi dan hujan.

 

Mungkin… kita bisa mulai tanpa luka.

 

Tapi mungkin juga, yang bikin kita manusia justru karena luka itu tetap tinggal.

 

Di kantor, Reza lebih banyak diam. Tapi diamnya bukan lagi kosong. Ada semacam ketenangan dalam dirinya, walau sesekali rasa rindu itu masih menyentak tiba-tiba—saat melihat orang membawa payung kuning, atau mendengar nama “Sinta” disebut di radio.

 

Sore itu… sesuatu berubah.

 

Reza baru pulang kerja saat dia menemukan amplop cokelat kecil di bawah pintu apartemennya. Tidak ada nama. Tidak ada tulisan. Hanya sebuah kertas di dalamnya, dengan tulisan tangan yang ia kenali:

 

“Terima kasih sudah tidak memintaku kembali. Tapi aku juga tidak pernah benar-benar pergi.”

 

—S

 

Dia tidak tahu bagaimana Sinta bisa tahu alamatnya. Atau apakah itu benar-benar dari Sinta. Tapi dia tahu satu hal:

 

Beberapa perasaan tidak perlu dijelaskan.

Beberapa hubungan tidak perlu dilanjutkan.

Tapi ada yang tetap tinggal… meski tak terlihat.

Bab 5 – Dalam Diam yang Berisik

 

Apartemen Sinta berada di lantai sembilan, menghadap ke taman kecil kota yang sekarang sudah mulai hijau kembali sejak musim semi datang. Langit sore itu terlihat cerah, tapi hatinya tidak. Ia berdiri lama di depan jendela, memandangi matahari yang hampir tenggelam, seperti menunggu sesuatu—atau seseorang—yang tidak akan datang.

 

Di tangan kirinya, ada undangan pernikahan.

Bukan milik orang lain.

Tapi miliknya sendiri.

 

Ia akan menikah tiga bulan lagi.

Pria itu—Arvino—baik, tenang, stabil. Segala hal yang seharusnya ia butuhkan setelah hidup yang terlalu sering dibentuk oleh drama dan luka lama.

 

Tapi masalahnya, cinta tak pernah bisa diukur dari seberapa baik seseorang memperlakukanmu. Kadang hati tetap memilih orang yang membuatmu merasa hidup, bahkan jika bersamanya berarti patah hati dua kali lebih sering.

 

Dan Reza…

Ia bukan luka.

Ia adalah keheningan yang menenangkan, tapi justru karena itu sulit dilupakan.

 

Kilasan Masa Lalu

 

Sinta membuka laci mejanya. Di dalamnya, ada satu foto lama—diambil saat mereka berdua duduk di bangku museum, tahun ketiga mereka pacaran. Foto itu buram, diambil sembunyi-sembunyi oleh petugas karena mereka dianggap “terlalu mesra di tempat seni.”

 

Di belakang foto itu, ada tulisan tangan Reza:

 

“Nggak semua seni harus dimengerti. Kadang cukup dinikmati bareng kamu.”

 

Air mata Sinta menetes, pelan.

Bukan karena ia ingin kembali. Tapi karena ia sadar ia tidak pernah sepenuhnya pergi.

 

Percakapan dengan Arvino

 

Malam itu, Arvino datang. Mereka makan malam seperti biasa. Suasana tidak tegang, tapi juga tidak hangat. Seperti dua orang yang saling menghormati, tapi belum tentu saling mengenal sepenuhnya.

 

“Vin…”

“Hm?”

“Kalau aku… masih menyimpan seseorang dalam pikiranku, kamu marah nggak?”

 

Arvino terdiam sebentar.

“Kalau kamu jujur, aku nggak akan marah. Tapi mungkin… aku akan bertanya, kenapa kamu masih bersamaku.”

 

Sinta mengangguk, menunduk.

 

“Aku juga belum punya jawaban itu.”

 

Dan untuk pertama kalinya sejak mereka bertunangan, Arvino berdiri sebelum menyentuh makanan.

 

“Kalau kamu masih butuh waktu… ambil. Tapi jangan ajak aku menunggu untuk sesuatu yang nggak pasti.”

 

Sinta Menulis Balasan

 

Di malam yang hening, Sinta duduk di meja kecilnya, dan mulai menulis surat. Untuk Reza. Bukan untuk dikirim. Tapi untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa rasa itu memang pernah nyata.

 

Reza,

 

Aku pikir aku bisa menata hidupku tanpa harus menoleh ke belakang. Tapi kenyataannya, bayanganmu justru datang saat aku merasa semuanya sudah rapi.

 

Aku tidak ingin kembali. Tapi aku juga tidak bisa berpura-pura semua ini tidak berarti.

 

Mungkin cinta memang bukan tentang memiliki, tapi tentang keberanian untuk melepas dengan tenang.

 

Dan kamu… adalah kehilangan yang tidak akan pernah kusalahkan.

Bab 6 – Perpisahan yang Tidak Terucap

 

Reza tidak tahu kenapa dia ada di sana sore itu. Di taman kecil dekat museum seni. Tempat yang sudah bertahun-tahun tidak ia datangi sejak ia dan Sinta memutuskan jalan masing-masing.

 

Langit mendung, tapi belum hujan. Angin berhembus pelan, membawa aroma rumput basah dan suara anak-anak kecil yang berlarian di kejauhan. Reza duduk di bangku kayu tua, tangan dimasukkan ke saku jaket. Hatinya tenang, tapi ada ruang kosong di dada yang tak bisa diisi kopi, hujan, atau tulisan.

 

Lalu ia melihatnya.

 

Sinta datang perlahan, mengenakan baju putih polos dan celana jeans biasa. Tidak berdandan. Tidak berusaha tampil “siap.” Tapi tetap… terlihat seperti rumah yang lama ditinggalkan tapi masih terasa hangat saat didekati.

 

Reza berdiri. Mereka saling tatap.

Tak ada pelukan. Tak ada senyum besar.

Tapi ada pengakuan dalam diam: “aku tahu kamu juga merasa ini.”

 

Percakapan yang Akhirnya Terjadi

 

Mereka duduk berdampingan.

 

“Aku akan menikah,” kata Sinta pelan.

“Aku tahu,” balas Reza. “Kabar menyebar lebih cepat dari yang kita kira.”

 

“Dan kamu?”

“Masih sama. Menulis surat yang nggak pernah dikirim.”

 

Sinta tertawa pelan. “Masih belum berubah.”

Reza menoleh. “Tapi kamu berubah. Lebih… tegar.”

 

“Atau mungkin lebih terlatih berpura-pura,” jawab Sinta, menunduk.

 

Lalu diam.

Tapi bukan diam yang kosong.

 

Yang Terucap Akhirnya

 

“Reza…”

“Hm?”

“Kalau waktu itu aku nggak pergi… kita masih bareng?”

 

Reza terdiam. Lama.

Lalu menjawab, pelan:

 

“Mungkin. Tapi mungkin juga kita tetap akan berakhir. Bedanya, kalau kamu nggak pergi… aku nggak akan tahu rasanya belajar melepaskan.”

 

Sinta menggigit bibir. Matanya berkaca-kaca, tapi tidak jatuh.

 

“Aku takut pernikahan ini bukan jawaban.”

“Aku juga takut kamu nyesel.”

“Tapi aku lebih takut… nyesel karena nggak pernah nyoba.”

 

Reza mengangguk.

 

“Maka jalanlah. Tapi jangan bawa aku dalam doamu yang diam-diam. Biar yang tinggal di hatimu itu cuma kamu sendiri, bukan bayanganku.”

 

Perpisahan yang Tenang

 

Hujan turun perlahan. Mereka tidak berlari. Tidak juga bersembunyi. Duduk di bawah gerimis, seperti dua hati yang akhirnya tahu tempatnya masing-masing.

 

Sinta berdiri. Menatap Reza terakhir kalinya.

 

“Terima kasih karena pernah jadi tenangku, Reza.”

“Dan kamu… adalah badai yang mengajarkan aku caranya berdamai.”

 

Lalu ia berjalan pergi.

 

Dan Reza tidak menahannya.

 

Karena untuk pertama kalinya… dia tahu, mencintai seseorang tak selalu berarti harus memilikinya. Kadang, cukup dengan menjadi seseorang yang pernah dicintai dengan tulus.

Bab 7 – Pelan Tapi Tidak Palsu

 

Reza tidak langsung berubah menjadi seseorang yang ceria. Ia tetap senyap, tetap menikmati kopi tanpa gula, tetap menulis di malam hari. Tapi sejak pertemuan terakhir dengan Sinta, ada sesuatu dalam dirinya yang bergerak perlahan—seperti tirai yang akhirnya dibuka setelah lama tertutup, membiarkan cahaya masuk sedikit demi sedikit.

 

Suatu pagi, di kantin kantor, Reza tak sengaja menjatuhkan bukunya. Seorang perempuan yang baru saja dipindahkan ke divisinya membungkuk dan mengambilkan.

 

“Kamu suka buku tua juga?” tanyanya sambil menyerahkan novel yang sudah penuh lipatan.

 

Reza hanya tersenyum.

 

“Lebih suka dari orang-orang yang suka spoiler.”

 

Perempuan itu tertawa. Namanya Laras.

Bicaranya tenang, tapi ekspresif. Matanya jernih, dan ada ketulusan yang terasa dalam caranya memandang.

 

Percakapan yang Tidak Ditargetkan

 

Mereka mulai sering makan siang bareng. Awalnya tidak sengaja, lalu menjadi rutinitas yang tak perlu diatur.

 

“Aku dengar kamu suka hujan?” tanya Laras suatu siang.

“Iya. Bikin semua orang jadi pelan.”

“Tapi bikin banyak orang jadi sendu juga.”

“Kadang sendu itu perlu.”

 

Laras menatapnya lama.

 

“Kamu kayak lagu yang enak didengar, tapi kalau didengerin terus bisa bikin nangis.”

 

Reza tertawa kecil. Sudah lama tidak ada yang bicara padanya dengan metafora seperti itu.

 

Proses yang Tidak Dipaksa

 

Reza tidak jatuh cinta pada Laras. Tidak secepat itu. Tapi ia mulai suka caranya Laras mendengarkan. Suka caranya Laras diam saat dia tidak ingin bicara. Dan paling penting, suka karena Laras tidak memaksanya untuk melupakan masa lalu.

 

“Kamu masih mikirin dia?”

“Iya.”

“Nggak apa-apa. Yang penting kamu nggak pura-pura enggak.”

 

Dan itulah kenapa Reza merasa damai.

 

Suatu Malam

 

Di dalam mobil, Laras duduk di kursi penumpang. Mereka baru pulang dari pameran seni. Hujan turun pelan di kaca depan.

 

Reza memarkir mobilnya di pinggir jalan. Tak buru-buru pulang.

 

“Kamu tahu, Ras… aku nggak tahu ini akan jadi apa.”

“Aku juga nggak tahu, Za. Tapi… aku di sini bukan buat gantiin siapa-siapa.”

 

Reza menoleh, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia menatap seseorang tanpa bayangan Sinta di belakangnya.

Bab 8 – Gaun Putih dan Ruang yang Masih Kosong

 

Dua minggu menjelang hari pernikahan, Sinta duduk di depan cermin panjang di ruang fitting butik pengantin. Gaun putih gading membalut tubuhnya dengan sempurna. Semua orang bilang dia cantik hari itu. Bahagia. Siap.

 

Tapi saat semua orang keluar ruangan untuk memberikan waktu padanya, Sinta tetap duduk di sana. Menatap dirinya sendiri. Lama. Terlalu lama.

 

Bibirnya tersenyum, tapi matanya… tidak ikut bicara.

 

Kisah yang Diam-Diam Mengendap

 

Arvino sibuk mempersiapkan semua. Vendor, catering, undangan, gedung, playlist lagu. Ia mengurus segalanya dengan rapi dan telaten. Ia mencintai Sinta sepenuh hati, dan Sinta tahu itu. Tapi justru karena ia tahu, rasa bersalah itu muncul lebih sering.

 

Di malam hari, ketika ia sudah sendiri di apartemennya, Sinta membuka salah satu surat lama yang ia simpan—surat yang tidak pernah ia kirim, tapi ditulis bertahun lalu. Untuk Reza.

 

Dan malam itu, dia menulis satu lagi.

 

Reza,

 

Aku akan menikah.

Bukan karena aku sudah lupa kamu, tapi karena aku ingin berhenti mengingat kamu dalam diam.

 

Ada orang baik yang mau berjalan bersamaku, meskipun aku belum sepenuhnya pulih.

Tapi setiap kali aku mencoba meyakinkan diriku, aku malah ingat matamu. Yang tidak pernah meminta apa-apa. Tapi menunggu dalam diam.

 

Mungkin cinta memang tidak selalu soal siapa yang paling lama tinggal. Tapi tentang siapa yang membuat kita ingin tinggal, meskipun semua sudah terasa tidak mungkin.

 

Aku harap kamu bahagia. Bahkan jika itu tanpa aku.

 

Dialog yang Mengguncang

 

Beberapa hari kemudian, saat makan malam bersama Arvino, suasana hening.

 

“Kamu kelihatan beda, Sin,” kata Arvino sambil memutar sendok di gelas.

“Beda gimana?”

“Kayak… kamu udah sampai di tujuan, tapi nggak tahu kenapa kamu ke sana.”

 

Sinta menatapnya. Tersentak oleh betapa tepatnya kalimat itu.

 

“Aku… masih belajar, Vin.”

“Aku tahu. Dan aku tetap di sini. Tapi kamu harus tahu satu hal.”

 

“Apa?”

 

“Kalau kamu masih mikirin seseorang yang nggak ada di sini… jangan sampai kamu menikah hanya karena kamu lelah menunggu dia kembali.”

 

Sinta menunduk. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia tidak punya jawaban.

Bab 9 – Yang Belum Pernah Diucapkan

 

Hari itu langit mendung. Tidak hujan, tapi angin terasa lebih dingin dari biasanya. Jalanan kota sibuk seperti biasa, tapi di antara ribuan langkah orang-orang yang lewat, ada satu langkah yang lambat—berat.

 

Reza.

 

Dia berjalan tanpa tujuan pasti, hingga kakinya membawanya ke tempat yang sudah lama tidak ia datangi. Museum seni. Tempat mereka dulu sering menghabiskan waktu tanpa bicara. Tempat di mana diam punya arti, dan ruang punya rasa.

 

Begitu ia masuk, suara langkah kakinya menggema di lantai marmer. Galeri hari itu sepi. Lukisan-lukisan masih tergantung di tempatnya, tapi satu lukisan membuatnya berhenti. Lukisan hujan.

 

“Kita bertemu lagi di lukisan yang sama.”

 

Reza menoleh.

Sinta berdiri di sana.

 

Ia mengenakan pakaian santai, tidak berias. Wajahnya lelah tapi… tenang. Mereka berdiri berdampingan, tapi tidak langsung menatap satu sama lain.

 

Percakapan Tanpa Paksaan

 

“Aku pikir kamu sudah pergi,” kata Reza.

“Aku pikir juga begitu.”

“Kenapa ke sini?”

“Karena aku butuh lihat sesuatu yang tidak berubah.”

 

Hening. Hanya bunyi AC dan detak jantung mereka masing-masing.

 

“Reza, aku akan menikah minggu depan.”

“Aku tahu.”

“Aku datang ke sini bukan untuk mengubah apa pun. Aku cuma ingin… mengucapkan sesuatu yang dulu nggak sempat.”

 

Reza menatapnya. Dalam. Tidak ada kemarahan, tidak ada tanya.

 

“Kamu pernah bilang kamu mencintaiku karena aku membuatmu tenang. Tapi aku baru sadar… aku mencintaimu karena kamu membuat aku berani. Bahkan saat aku takut kehilanganmu.”

 

Air mata Sinta jatuh. Tapi dia tidak menghapusnya.

 

“Maaf karena aku pergi waktu itu. Dan… terima kasih karena kamu tetap diam saat aku butuh diam.”

 

Reza mendekat setengah langkah. Masih menjaga jarak.

 

“Aku mencintaimu, Sinta. Tapi hari ini… aku juga mencintai diriku sendiri. Dan aku tahu… kita nggak ditakdirkan untuk lanjut.”

 

Pelukan Terakhir

 

Tanpa kata, mereka saling mendekat dan memeluk. Bukan pelukan rindu. Bukan pelukan ingin kembali. Tapi pelukan dua orang yang akhirnya mengerti: mereka adalah rumah yang pernah saling tinggal, tapi kini waktunya saling membebaskan.

 

Saat mereka melepaskan pelukan itu, Reza tersenyum.

 

“Sampai jumpa… di kenangan yang indah.”

 

Sinta mengangguk.

 

“Dan di rintik yang jatuh tanpa alasan.”

Bab 10 – Yang Tetap Tinggal Setelah Pergi

 

Beberapa bulan telah berlalu sejak pertemuan terakhir mereka di museum. Musim semi telah berganti panas, dan kini daun-daun mulai menguning di tepi jalan. Kota tetap sibuk seperti biasa. Tapi di dalam hati Reza, sesuatu telah berubah.

 

Ia masih menulis, masih duduk di dekat jendela dengan kopi pahit, masih suka menyendiri. Tapi kini, ada ruang yang tidak lagi terasa sesak. Ada sunyi yang tidak lagi menyakitkan. Dan ada kenangan… yang bisa diingat tanpa luka.

 

Di Hari Pernikahan

 

Reza tidak datang. Ia tidak diundang. Tapi pagi itu, ia mengenakan kemeja putih bersih dan berjalan ke taman tempat mereka dulu pernah berbincang. Di tangannya ada satu surat terakhir.

 

Sinta,

 

Hari ini kamu menikah. Dan aku menulis ini bukan untuk mengganggu, tapi untuk merayakan.

 

Karena pada akhirnya, aku mengerti… kita adalah dua jalan yang pernah bersisian begitu dekat, tapi tidak pernah menuju tempat yang sama.

 

Aku tidak ingin lupa. Tidak akan. Tapi aku juga tidak ingin memeluk bayanganmu terlalu lama.

 

Hari ini, aku mendoakanmu. Dengan seluruh yang pernah kumiliki dan kini kubiarkan pergi.

 

Selamat hidup yang baru, Sinta.

Dan terima kasih… karena pernah menjadi yang paling aku jaga.

 

Surat itu tidak dikirim. Hanya dilipat dan disimpan di balik novel favoritnya—halaman 43, tempat yang sama Sinta pernah menandai.

 

Di Tempat Lain, Hari yang Sama

 

Sinta berdiri di balik tirai ruang rias, menatap ke pelaminan yang sudah dihias indah. Musik pelan mengalun. Semua berjalan sesuai rencana. Arvino menunggu di altar dengan senyum hangat.

 

Tapi hati Sinta tidak lagi gaduh.

 

Ia tidak lagi mempertanyakan pilihannya. Bukan karena ia sudah lupa Reza, tapi karena ia sudah berdamai.

 

“Ada yang akan tetap tinggal di hati, bahkan setelah ia pergi,” gumamnya sambil menatap langit.

 

Dan saat langkah kakinya menuju altar, ia tahu—ia tidak memilih yang paling membuatnya berdebar, tapi yang membuatnya ingin tinggal meski tanpa pelarian.

 

 

 

 

 

Epilog – Hujan Pertama

 

Minggu itu, hujan pertama di musim gugur turun.

 

Reza duduk di kursi kayu kafe yang baru, membaca ulang buku lamanya. Satu halaman terselip dengan tulisan tangan kecil.

 

Ia tersenyum.

 

Laras datang membawakan dua gelas kopi.

 

“Masih nunggu hujan turun?” tanyanya.

“Nggak. Sekarang aku cuma duduk, dan membiarkan hujan turun tanpa makna tertentu.”

 

Laras tertawa kecil. “Itu… kemajuan besar.”

Reza tersenyum.

 

Dan hujan pun turun.

Pelan, tenang, tanpa beban.

 

 

TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Unspoken (Yang Tak Pernah Dibicarakan)--Part 1

Menjadi Perempuan di Tengah Ekspektasi Dunia