The Unspoken (Yang Tak Pernah Dibicarakan)--Part 2



 "Ada hal-hal  yang tak pernah terucap, tapi tinggal selamanya di dada"


Bab 4 — Dua Sisi Rumah

 

Hari Minggu datang lebih cepat dari yang Raysa harapkan. Rumah mulai sibuk sejak pagi—baju gereja disetrika, kue dibawa dari dapur ke mobil, Ayah sudah mengenakan jasnya dan Ibu mengenakan kebaya yang selalu ia simpan untuk pelayanan Paskah. Semuanya tampak sempurna.

 

Kecuali Raysa.

 

Dia duduk di sudut sofa ruang tamu, mengenakan dress putih sederhana. sepatunya belum dipasang. Bibirnya kering. Tangannya dingin.

 

“Raysa, kamu kenapa?” tanya Ibu dari depan cermin.

“Nggak apa-apa, Bu.”

“Kamu pucat banget. Jangan bikin malu di mimbar nanti. Itu pelayanan Paskah, bukan panggung drama.”

 

Darah di dada Raysa naik pelan. Tapi dia hanya mengangguk. Drama, pikirnya. Semua ini memang drama. Hanya saja, penulis naskahnya bukan dia.

 

Di gereja, suara paduan suara mengalun indah. Semua orang berdiri, menyanyikan lagu kemenangan. Raysa ikut berdiri. Tapi suaranya tercekat. Tangannya menggenggam kuat-erat lipatan dressnya.

 

Di seberang ruangan, Ayah berdiri di mimbar, memimpin liturgi. Suaranya mantap, tegas, seperti biasa.

 

“Kristus telah bangkit! Maka kita pun harus bangkit dari kehidupan lama, dari dunia yang abu-abu, menuju terang yang sejati!”

 

Raysa menatap wajah Ayahnya. Ia teringat saat Ayah pulang dari kantor gereja, wajahnya lelah, tapi tetap meminta Galvin ikut doa malam. Ia juga teringat saat Ayah menolak menemani Raysa saat dia pingsan di sekolah karena stres.

 

Karena Ayah bilang, “Kamu kurang doa.”

 

Usai ibadah, keluarga besar berkumpul di rumah. Keluarga dari pihak Ibu datang, lengkap dengan tante-tante yang suka tanya kapan Raysa akan jadi “pelayan penuh waktu seperti Ayah.” Di meja makan, mereka tertawa dan memuji Galvin yang rangking satu, dan Damas yang baru dapat promosi.

 

“Raysa? Kamu kapan lulus?”

“Satu semester lagi, Tante.”

“Oh, bagus. Jangan buru-buru cari pacar ya. Apalagi yang beda gereja.”

 

Kalimat itu dilontarkan ringan, seperti candaan. Tapi di dada Raysa, itu seperti tembakan. Ia hanya tersenyum, padahal ingin berdiri dan berteriak.

 

Malam itu, setelah semuanya tenang, Raysa keluar ke teras rumah. Hujan baru saja turun. Udara dingin dan harum tanah basah mengisi paru-parunya.

 

Pintu samping terbuka. Damas muncul sambil membawa rokok dan duduk di kursi sebelahnya.

 

“Kamu nggak bahagia, ya?”

Raysa menoleh. “Apa?”

 

“Aku tahu. Dari kecil kamu lebih banyak diem daripada ngomong. Tapi kamu bukan diem karena pendiam. Kamu diem karena nggak pernah dikasih ruang buat marah.”

 

Raysa terdiam.

 

“Aku dulu sempat pacaran sama cewek yang atheis,” Damas berkata sambil menatap langit. “Aku nggak bisa bawa dia pulang. Bukan karena dia jahat. Tapi karena aku terlalu takut kehilangan tempatku di keluarga ini.”

 

“Kamu nyesel?”

 

“Setiap hari.”

 

Raysa menatap Damas, dan untuk pertama kalinya, merasa tidak sendirian. Bahwa di balik doa-doa dan ayat hafalan, ada luka-luka yang disembunyikan di dalam rumah ini.

 

Rumah ini punya dua sisi: yang bersinar di luar, dan yang diam-diam berdarah di dalam.

 

Dan dia, anak ketiga perempuan satu-satunya, berdiri di tengahnya—terjebak, tapi perlahan belajar berjalan.

 

 

Bab 5 — Surat Tak Bertanda

 

Hujan kembali turun malam itu. Rintiknya pelan, seperti ingin mengisi ruang-ruang kosong di dada Raysa yang tak mampu ia ungkapkan dengan kata-kata.

 

Ia duduk di meja belajarnya, menatap halaman kosong di buku catatan tua miliknya. Cahaya lampu belajar membuat bayangan tangannya menari pelan di atas kertas. Ia sudah lama tak menulis—setidaknya bukan untuk dirinya sendiri.

 

Lalu, ia mulai. Dengan tangan sedikit gemetar, ia tuliskan sesuatu yang selama ini hanya ada dalam benaknya.

 

 “Untuk kamu, yang tak bisa kusebut namanya.

 

Aku mencintaimu. Dalam diam. Dalam doa. Dalam semua hal yang tidak pernah bisa kubagikan ke dunia. Aku tahu, mencintaimu berarti mengkhianati banyak hal—keluarga, gereja, bahkan nama belakangku. Tapi kamu satu-satunya yang membuatku merasa hidup tanpa harus jadi orang lain.

 

Aku ingin jadi berani. Tapi di rumah ini, keberanian dianggap pembangkangan. Aku ingin jujur. Tapi kejujuran seringkali berarti luka bagi orang-orang yang ingin aku bahagiakan.

 

Jadi aku diam. Tapi diamku bukan karena aku tak ingin memperjuangkanmu. Diamku adalah bentuk perlawanan yang paling aman kutemukan.

 

Jika suatu hari kamu membaca ini, mungkin aku sudah bukan lagi Raysa yang kamu kenal. Tapi tahu lah… cinta ini tidak sesat. Ia hanya terkurung dalam dunia yang terlalu takut pada warna abu-abu.”

Raysa melipat surat itu, memasukkannya ke dalam amplop kecil tanpa nama. Ia menyimpannya di dalam kotak kayu bersama potongan kenangan lainnya: foto Polaroid, tiket bioskop, gelang anyaman buatan tangan Dio, dan daun yang mereka pungut bersama saat berdua ke pantai.

 

Kotak itu bukan kenangan. Itu adalah saksi bahwa ia pernah punya ruang untuk dirinya sendiri—ruang yang tidak ditentukan oleh liturgi atau struktur rumah.

 

Keesokan harinya, ia duduk di bangku belakang gereja. Sendirian. Pelayanan belum mulai. Ruangan masih sunyi.

 

Ia membuka Alkitabnya. Di antara halaman Matius dan Markus, terselip surat yang ia tulis beberapa minggu lalu—surat untuk Tuhan.

 

Hari itu, untuk pertama kalinya, ia membacanya kembali. Kata demi kata. Dan setelah selesai, ia menulis sesuatu di bagian bawahnya.

 

“Tuhan, jika aku sesat karena mencintai dengan tulus, maka biarkan aku sesat bersama damai yang Kau beri dalam hatiku.”

 

 

Sore itu, ia pergi ke perpustakaan kampus, dan tanpa sengaja bertemu Dio.

 

Mereka hanya saling pandang. Tak ada pelukan. Tak ada dialog panjang.

 

Tapi Dio tersenyum. Dan Raysa balas tersenyum—senyum yang tidak berkata “aku baik-baik saja”, tapi “aku masih belajar untuk tetap hidup”.

 

 

Bab 6 — Menjadi Diri Sendiri

 

Waktu berlalu. Musim Paskah berganti jadi musim ujian akhir. Rumah mulai sibuk dengan persiapan wisuda Galvin (kelulusan SD), dan Ayah makin jarang di rumah karena jadwal pelayanan di luar kota. Raysa menjalani harinya seperti biasa, tapi tak lagi dengan hati yang sama.

 

Dia tak lagi menunggu restu, tak juga mencari pembenaran. Ia hanya ingin jujur—pada dirinya sendiri.

 

Suatu malam, saat rumah sudah tenang dan lampu-lampu kamar mulai padam, Raysa duduk di meja makannya. Di depannya ada dua lembar amplop. Yang satu ditujukan pada Ayah dan Ibu. Yang satu lagi… kosong. Tak bertuliskan nama.

 

Dengan hati-hati, ia buka yang pertama.

 

Ayah, Ibu,

 

Terima kasih telah membesarkan aku dengan prinsip dan kasih yang kalian yakini benar. Aku tahu tidak mudah memiliki anak seperti aku—yang tidak selalu setuju, yang banyak bertanya, yang terlalu peka pada hal-hal yang sering dianggap remeh.

 

Tapi aku ingin kalian tahu… aku tidak pernah berhenti mencintai kalian. Hanya saja, cintaku tidak selalu bisa menuruti kalian.

 

Aku ingin hidupku mencerminkan kasih, bukan ketakutan. Dan jika nanti aku memilih jalan yang tidak kalian setujui, aku harap kalian tetap percaya: aku masih percaya pada Tuhan. Tapi dengan cara yang lebih jujur. Lebih manusiawi.

 

Ia meletakkan surat itu dalam amplop, menaruhnya di laci meja makan—tempat Ibu biasa menyimpan remote TV.

 

Lalu ia ambil surat kosong. Menulis hanya satu kalimat.

 

“Kalau kamu masih menungguku di tempat pertama kita ketemu, aku akan datang. Tapi bukan sebagai milik siapa-siapa. Aku datang sebagai aku sendiri.”

 

Ia menyelipkan surat itu ke dalam buku yang pernah ia pinjam ke Dio—buku puisi karya Sapardi. Ia titipkan buku itu ke perpustakaan kampus, berharap Dio akan tahu.

 

Dua hari kemudian, ia naik angkot ke arah pantai kecil di utara kota. Tempat itu sepi, hanya beberapa warung tutup dan jejak-jejak ban bekas perahu. Langit senja menyapu langit dengan warna yang nyaris tak bisa dilukiskan.

 

Dan di sana, berdiri seseorang—berjaket biru tua, wajahnya menua sedikit, tapi senyumnya masih sama.

 

Dio.

 

Raysa mendekat. Tapi tak berlari. Tak menangis. Hanya melangkah, perlahan, seperti seseorang yang akhirnya tiba di tempat yang tak lagi ia harapkan… tapi tetap ia rindukan.

 

Mereka duduk berdua. Tak banyak bicara.

 

“Masih suka puisi?” tanya Dio.

“Sekarang aku suka menulis surat yang tidak pernah kukirim,” jawab Raysa.

 

Mereka tertawa kecil. Angin pantai menyibak rambut Raysa, dan ia tahu: dia tidak kembali ke masa lalu. Ia datang sebagai dirinya yang baru.

 

 

Di rumah, Ayah menemukan surat Raysa malam itu. Ia membacanya sendirian, diam, lama. Lalu hanya berkata pelan ke dirinya sendiri:

 

“Iman tanpa cinta… kosong.”

 

Dan di kamarnya, Raysa menulis lagi.

 

Bukan surat. Tapi halaman pertama dari buku yang selama ini tertahan dalam hatinya.

 

“Ini bukan cerita tentang melawan Tuhan. Ini cerita tentang mencari-Nya di tempat-tempat yang tak pernah diajarkan—di ruang tanya, di pelukan yang ditolak, di tangisan tanpa suara.

 

Dan pada akhirnya… di dalam diri sendiri.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Unspoken (Yang Tak Pernah Dibicarakan)--Part 1

Menjadi Perempuan di Tengah Ekspektasi Dunia

Kenapa Aku Tak Pernah Merasa Cukup, Padahal Sudah Berjuang?