The Unspoken (Yang Tak Pernah Dibicarakan)--Part 3



 "Ada hal-hal  yang tak pernah terucap, tapi tinggal selamanya di dada"


Bab 7 — Ruang yang Kupilih Sendiri

 

Sudah tiga minggu sejak senja di pantai itu.

 

Hari-hari Raysa tak berubah banyak dari luar—dia masih datang ke kelas pagi, mengerjakan skripsi, dan membantu di rumah saat diminta. Tapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang perlahan berubah.

 

Ia tak lagi berusaha menjadi versi terbaik menurut orang lain. Ia hanya ingin jadi versi paling jujur dari dirinya.

 

Satu malam, saat rumah tenang dan Ayah sedang di luar kota, Ibu mengetuk pintu kamar Raysa.

 

“Ibu boleh masuk?”

 

Raysa mengangguk.

 

Ibu duduk di tepi ranjang. Tangannya memegang Alkitab, tapi tak membukanya.

 

“Kamu pernah takut kehilangan Tuhan, Sayang?”

 

Pertanyaan itu datang tiba-tiba. Raysa menatap wajah Ibu—matanya sembab, ada kelelahan yang tidak ia kenali sebelumnya.

 

“Aku… pernah,” jawab Raysa pelan. “Tapi yang lebih sering aku takut… kehilangan diriku sendiri karena harus berpura-pura mencintai Tuhan dengan cara yang tidak aku mengerti.”

 

Ibu tertunduk. Hening.

 

“Ayahmu keras bukan karena dia tidak sayang,” katanya akhirnya. “Dia takut dunia merusak anak-anaknya. Tapi mungkin… dalam ketakutannya, dia lupa anak-anaknya juga bisa terluka di rumah.”

 

Kata-kata itu seperti membuka pintu kecil yang selama ini tertutup rapat. Raysa tidak menangis. Tidak juga tersenyum. Tapi di dadanya, ada sesuatu yang menghangat.

 

Beberapa hari kemudian, Raysa menerima email dari dosen pembimbingnya: judul skripsimu diterima. Silakan lanjut ke bab II.

 

Dan entah mengapa, itu membuatnya ingin menangis.

 

Bukan karena bahagia. Tapi karena ini pertama kalinya dia menulis sesuatu yang dia yakini sendiri. Tentang “Peran Spiritualitas dalam Kesehatan Mental Remaja Kristen.” Ia tahu, sebagian dosen akan menganggapnya terlalu pribadi. Tapi kali ini, itu bukan masalah.

 

Karena untuk pertama kalinya, ia tidak menulis demi nilai. Ia menulis demi sembuh.

 

Hari Minggu berikutnya, Raysa tidak ikut ke gereja. Ia memilih duduk di taman belakang rumah dengan buku dan earphone.

 

Galvin menghampirinya sambil membawa secangkir teh.

 

“Kamu nggak takut Ayah marah?”

 

Raysa tersenyum. “Aku nggak mangkir dari Tuhan. Aku cuma sedang butuh ruang untuk mendengar suara-Nya tanpa gangguan.”

 

Galvin tidak menjawab. Tapi ia duduk di sebelah Raysa, diam-diam memutar lagu yang sama.

 

Mereka tidak bicara. Tapi Raysa tahu, adiknya perlahan mengerti: bahwa cara tiap orang mendekat pada Tuhan… tidak pernah harus seragam.

 

 

 

Bab 8 — Yang Belum Bisa Kuperbaiki

 

Hari itu gerimis turun saat Raysa sedang dalam perjalanan pulang dari kampus. Jalanan licin, langit kelabu, dan playlist-nya memutar lagu yang terlalu tepat untuk suasana hatinya: lagu tentang cinta yang tak bisa dimiliki, dan keberanian untuk tetap mencintai tanpa kepastian.

 

Ia memandangi jendela angkot yang buram. Wajahnya terpantul samar di balik bayangan gedung-gedung dan pohon yang berlari mundur.

 

Malamnya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Dio.

 

“Boleh nggak… minggu ini kita ngobrol di tempat biasa? Bukan buat nyambungin apa-apa. Cuma… pengin tahu kabarmu.”

 

Raysa tidak langsung membalas. Ia menatap pesan itu lama, lalu meletakkan ponselnya di atas meja.

 

Dia tahu, hati mereka tak sepenuhnya sembuh. Tapi mungkin, hubungan yang jujur tidak harus tentang menjadi milik satu sama lain. Mungkin cukup dengan hadir. Menerima. Menjadi saksi bahwa mereka pernah ada dan tetap bertahan.

 

Akhirnya, mereka bertemu di kafe kecil dekat kampus. Meja pojok, dua cangkir cokelat panas, dan suasana sepi seperti biasa.

 

Dio menatap Raysa seperti dulu, tapi kali ini tanpa harapan yang menggantung.

 

“Kamu masih nulis?”

“Masih. Tapi sekarang lebih sering buat diriku sendiri.”

“Kalau aku… udah mulai berani doa lagi.”

 

Raysa tersenyum. “Aku juga.”

 

Tak ada ‘balikan’. Tak ada janji manis. Hanya dua orang yang pernah saling mencintai, belajar menjadi dewasa di dunia yang tidak selalu ramah bagi hati yang berbeda.

 

Beberapa hari setelahnya, Raysa menerima pesan dari Ibu: Ayah ingin bicara. Tapi kamu nggak perlu takut. Dia cuma ingin mendengar.

 

Itu bukan rekonsiliasi. Bukan juga permintaan maaf.

 

Tapi bagi Raysa, itu cukup. Karena untuk pertama kalinya, ia merasa didengar bukan sebagai anak yang harus patuh, tapi sebagai manusia yang punya pilihan.

 

Dan pada akhirnya, Raysa mulai belajar hidup bersama hal-hal yang belum selesai:

                          Hubungan dengan Dio yang tetap indah meski tidak bernama.

                          Kepercayaan keluarganya yang perlahan dibangun ulang dengan sabar.

                          Luka-luka kecil dalam dirinya yang tidak ia tutupi lagi dengan senyum palsu.

 

Karena ia tahu, kehidupan bukan tentang menuntaskan semua konflik. Tapi tentang berjalan bersama luka—tanpa membiarkannya mengendalikan arah.

 

Epilog

 

Di suatu hari yang cerah, Raysa duduk di beranda rumah, menulis ulang surat yang dulu tak pernah ia kirim.

 

Kali ini, bukan untuk Tuhan, Dio, atau Ayah.

 

Tapi untuk dirinya sendiri.

 

*“Terima kasih sudah bertahan, bahkan saat semua terasa asing. Terima kasih sudah tetap memilih hidup, meski tidak selalu tahu arahnya ke mana.

 

Kamu tidak harus sembuh sepenuhnya untuk layak dicintai. Kamu tidak harus sempurna untuk bisa memberi arti.

 

Kamu hanya perlu jujur—dan berani menatap bayanganmu sendiri tanpa takut. Karena di sanalah kamu bertemu dengan Tuhan yang sesungguhnya.”*

 

 

— TAMAT —

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Unspoken (Yang Tak Pernah Dibicarakan)--Part 1

Menjadi Perempuan di Tengah Ekspektasi Dunia

Kenapa Aku Tak Pernah Merasa Cukup, Padahal Sudah Berjuang?